Tuesday, 12 January 2010

Seandainya Tiada HR 2601

Seandainya Tiada HR 2601
By Christianto Wibisono / pembaruan)
Aug 17, 2005, 12:36

 
Jakarta, Saya sengaja mengendapkan penulisan kolom tentang House Representatives 2601 atau Undang-Undang HR (DPR) nomor 2601 (HR 2601) hingga sehari menjelang 60 tahun kemerdekaan karena memang HR 2601 bisa menjadi suatu gunung es bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Beberapa kali saya mengikuti acara hearing dalam Sub Komisi Hubungan Internasional Kongres dan Senat AS. Delegasi Samoa Amerika, Eni Faleomavaega boleh saja dinilai gurem dan tidak berpengaruh seperti Edward Kennedy atau Patrick Leahy. Tapi pada 10 Maret 2005, saya mendengar pidato Eni yang mengutip pernyataan Uskup Desmond Tutu tanggal 24 Februari 2004. Saya sadar, betapa seriusnya urusan Papua ini dan tidak sekadar komoditas LSM gurem.

Faleomavaega bukan politisi dungu, ia sadar bahwa dirinya bukan apa-apa. Tapi kalau ia bisa menggaet Desmond Tutu bahkan Nelson Mandela sebagai tokoh yang prihatin dan peduli dengan nasib Papua, celakalah arogansi elite Jakarta yang merasa telah merangkul dan memiliki dunia.

Kabarnya dulu di zaman Soeharto, Ketua GNB ini merasa yakin telah berhasil "membeli" dukungan kelompok Afrika agar Timtim tetap dalam NKRI. Soeharto yang memang cukong, sempat memberi angpao kepada Nelson Mandela. Angpao diterima, tapi ketika pendapat umum dunia tidak favorable kepada RI, Afrika Selatan tidak punya andil atau gigi untuk membela RI soal Timtim.

Hal yang sama perlu diwaspadai dalam soal Papua karena solidaritas etnis rasial menjadi salah satu kartu. Selain menggaet Desmond Tutu, Faleomavaega juga berhasil mengumpulkan 36 tanda tangan Congressional Black Caucus. Ini suatu solidaritas anggota Kongres keturunan Afrika yang menekankan bahwa ras penduduk Papua, Melanesia berasal dari keturunan Afrika Barat dan berbeda dari ras Melayu, mayoritas penduduk Indonesia.

Ia juga tekun meneliti dan mencari pendukung upaya peninjauan kembali pelaksanaan Pepera 1969 dengan mengutip penyesalan mantan Deputy Sekjen PBB Chakravarty Narasimhan. Dalam wawancara tahun 2001, Narasimhan menyatakan bahwa memang Pepera 1969 itu bukan berdasarkan one man one vote. Tapi memakai 1022 wakil rakyat yang mengatasnamakan hampir sejuta warga Papua untuk memilih tetap menjadi provinsi NKRI.

PBB sendiri waktu itu hanya ingin menyelesaikan tugas act of free choice itu secara formalitas saja tanpa mempedulikan apakah itu mencakup grass roots atau tidak. Selain itu bila elite dan diplomat Indonesia rajin menelusuri website akan kaget bahwa 80 NGO dunia dan 40 anggota parlemen Uni Eropa serta 134 anggota parlemen negara Uni Eropa mendukung peninjauan kembali status Papua.

Perang zaman modern ini bukan sekadar pakai dar der dor meriam dan tank, melainkan public opini dan internet. Yang mungkin belum pernah disimak secara serius oleh elite Indonesia yang malas membaca dan hanya gemar retorika menghasut selera rendah tanpa substansi berbobot.

*

MASALAH serius dari HR 2601 adalah selain mengungkap fakta sejarah, dokumen itu juga merujuk kepada situasi dan kondisi kontemporer yang memerosotkan harkat RI di mata dunia internasional. Khususnya dalam citra RI sebagai negara demokratis karena adanya praktik tidak terpuji, seperti pembunuhan Munir dan penembakan dua warga sipil AS di Timika.

Semua itu disebut dalam satu nafas dengan praktik pelanggaran HAM dan demokrasi terhadap warga asli Papua selama penguasaan wilayah itu dalam NKRI.

UU HR 2601 tebalnya 516 halaman, sedang Pasal 1115 berjudul Developments in and policy toward Indonesia terdapat pada hal 326-332. Sebenarnya banyak juga negara lain yang mempunyai masalah HAM, demokrasi dan bilateral dengan AS yang disebut dalam pasal-pasal lain. Misalnya tentang Tibet, Colombia, Ethiopia, Vietnam, Ekuador , Meksiko dan Liberia menyangkut mantan diktator Charles Taylor.

Pasal 1437 (hal 510) mendesak pemerintah RRT memecat Mayjen Zhu Chenghu yang mengancam mau menuklir AS jika AS terus membantu Taiwan memisahkan diri dari RRT.

Jika elite Jakarta kurang teliti membaca tanda-tanda zaman, suatu gunung es di balik HR 2601 maka NKRI bisa mengalami nasib Titanic. Masa lalu adalah masa lalu dan kebanyakan kita kurang belajar dari sejarah, kurang mau mawas diri. Dan, yang lebih menyakitkan ialah kurang berani menghukum kesalahan dan kejahatan.

Suatu impunitas pelanggaran HAM dan demokrasi yang menjadi citra suatu negara yang disorot oleh dunia internasional. Inilah posisi, situasi dan kondisi NKRI pasca-Soeharto yang telanjur diwarnai oleh penyiksaan, penculikan, pembunuhan lawan politik, fitnah dan fatwa politik yang menghalalkan kekerasan terhadap masyarakat.

Semua ini merupakan citra yang menyelubungi posture NKRI, di tengah kebanggaan dan keasyikan menepuk dada sebagai pelopor KAA Bandung, pelopor GNB dan Dunia Ketiga. Tapi sejujurnya, citra rezim fasis masih mewarnai tingkah laku elite politik yang sadis dan tega, kejam dan keji terhadap lawan politik, masih mengganjal diplomasi RI.

Kalau terhadap sesama bangsa seperti Munir saja, orang tega meracun. Terhadap guru sipil warga AS yang tidak tahu menahu politik, bisa dilakukan penghadangan dan pembunuhan serta penjarahan masyarakat tanpa penghukuman terhadap pelaku penjarahan maupun pembakaran dan konflik rasial, etnis agama. Maka, citra ini mewarnai dan bisa dieksploitasi oleh kelompok HAM internasional secara efektif. Tidak ada asap kalau tidak ada api.

*

APA yang bisa dilakukan oleh Pemerintah RI dalam menghadapi bahaya gunung es HR 2601. Menurut saya, caranya hanya satu. Pemerintah membuktikan bahwa RI adalah negara Pancasila yang toleran, majemuk dan menjamin HAM dan demokrasi serta warga minoritas tanpa diktator mayoritas. Atau tirani oleh massa yang mengandalkan mayoritas melanggar hukum menghakimi warga lain dan memperoleh impunitas.

Seandainya saya jadi semacam National Integrity Adviser untuk Presiden Yudhoyono, saya mengusulkan paket terpadu pemberdayaan Papua sebagai berikut.

Pertama, Pemerintah Indonesia harus merangkul dunia untuk tetap merangkul Papua sebab Papua sedang dirangkul oleh dunia. Pemerintah harus menghentikan arogansi politik impunitas terhadap pelanggaran HAM berat masa lalu

Kedua, Pemerintah memberdayakan Papua dalam jangka panjang dengan pelbagai proyek "tebus dosa" dan transformasi masyarakat Papua dengan Investasi program strategic jangka panjang. Misalnya, menjadi tuan rumah Sidang Raya Dewan Gereja sedunia di Jayapura tahun 2014 dan Olympiade Musim Dingin di Jayawijaya juga tahun 2014.

Ketiga, paket terpadu pemberdayaan Papua bukan sekadar karena terpojok dan ingin menyelamatkan NKRI agar Papua tidak terlepas. Melainkan benar-benar suatu mawas diri bahwa NKRI kembali ke sumber kelahiran pada 17 Agustus 1945. Bahwa NKRI adalah negara sekuler yang majemuk yang menghormati Bhinneka Tunggal Ika dan menolak penjajahan sekalipun oleh segelintir elite atas nama faktor primordial baik mayoritas suku, ras, etnis atau agama.

NKRI adalah milik seluruh bangsa Indonesia, bukan Jawa, Aceh, Sunda atau Batak atau Papua atau agama tertentu. Jadi, kalau ada yang mau memonopoli maka bukan hanya akan berhadapan dengan HR 2601. Tapi pasti malah akan menabrak gunung es dan nasib NKRI bisa jadi seperti kapal Titanic. *

No comments: